Ya Hujjat Allah Latmiya Imam Mahdi Scouts Hezbollah

Minggu, 24 April 2016

Hadis-hadis Nabi SAWW yang Menggembirakan Kaum Syi’ah

Amat banyak hadis sahih mengenai hal ini yang disalurkan melalui Al-'Itrah (keluarga suci Rasulullah SAWW). Inilah sebagian yang diriwayatkan pula oleh para ahli hadis Ahlus-Sunnah melalui saluran-saluran sanad mereka.

Sebagaimana yang tertera pada halaman 96, kitab Ash-Shawa'ig Al-Muhriqah karangan Ibn Hajar, Al-Hafizh Jamaluddin Az-Zarnadi meriwayatkan dari Ibn Abbas r.a.: Ketika Allah SWT menurunkan ayat,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-Bayyinah: 7-8). Rasulullah SAWW berkata kepada Ali r.a.: "Mereka itu adalah kamu dan syi'ah (pendukung-pendukung)-mu. Pada Hari Kiamat kelak, kamu dan mereka akan datang dalam suasana ridha dan diridhai. Sedangkan musuh-musuhmu akan datang dalam keadaan gelisah dan terbelenggu."

Al-Hakim telah pula meriwayatkan dalam kitab Syawahid At-Tanzil, dari Ibn Abbas r.a.: "Ayat ini (Al-Bayyinah : 7-8) diturunkan berkenaan dengan Ahlul-Bayt." Begitu juga Ibn Hajar, pada Pasal I, Bab XI dari Ash-Shawa'iq, telah menggolongkannya dalam ayat-ayat yang diturunkan berkenaan dengan mereka.

Dalam kitabnya, Syawahid At-Tanzil pula, ia (Al-Hakim) telah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: Pada detik-detik terakhir ketika Rasulullah SAWW hendak mengembuskan napasnya yang terakhir, seraya bersandar di dadaku, beliau berkata, "Hai Ali, tidakkah kau dengar firman Allah SWT, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh itu adalah sebaik-baik makhluk (Al-Bayyinah: 7)? Mereka itu adalah syi'ah (pendukung-pendukung)-mu. Kelak, tempat janji pertemuanku dengan kau dan mereka sekalian adalah telaga Al-Haudh. Mereka akan dipanggil dalam keadaan putih bersih dan bersinar wajah-wajahnya."

Ad-Dailami merawikan, seperti termaktub pada halaman 96, kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Hai Ali, sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni engkau, anak-anakmu, keturunanmu, keluargamu, syi'ah (pengikut-pengikut)-mu dan para pencinta syi'ah-mu."

Ath-Thabrani dan banyak ahli hadis lainnya meriwayatkan bahwa pada hari "peristiwa Basrah" dihadapkan kepada Ali r.a. sejumlah emas dan perak (hasil rampasan perang). Ali berkata: "Hai 'kuning dan putih', perdayakanlah orang-orang selain aku. Perdayakan orang-orang Syam jika mereka memperolehmu, kelak!" Ucapannya ini membuat gelisah banyak orang dari pengikutnya. *) Ketika hal ini disampaikan kepada Ali r.a., ia memanggil mereka dan berkata: "Sesungguhnya kekasihku, Rasulullah SAWW, pernah bersabda: 'Hai Ali, sesungguhnya kamu dan syi'ah (para pengikut)-mu akan menghadap Allah SWT dalam keadaan ridha dan diridhai. Sebaliknya, musuh-musuhmu akan menghadap-Nya dalam keadaan gelisah dan terbelenggu lehemya.' (Ketnudian Ali mengangkat tangannya dan menggenggamkannya di lehernya seolah-olah belenggu yang membuat lehernya tertengadah ke atas).

Ibn Hajar telah menukil hadis ini di halaman 92, dalam Ash-Shawa'iq-nya., seraya mengomentarinya dengan ucapan-ucapan yang amat menggelikan sedemikian hingga membuat seorang ibu yang kematian anaknya tertawa. Kami hanya mengambil apa yang diriwayatkannya dan berp aling dari komentarnya itu.**)

Ath-Thabrani meriwayatkan, dalam Ash-Shawa'iq, halaman 96, bahwa Rasulullah bersabda kepada Ali: "Empat orang pertama yang memasuki surga adalah aku, engkau, Hasan, Husain, dan kemudian anak keturunan kita di belakang serta syi'ah (pengikut-pengikut) kita di samping kanan dan kiri kita." Ahmad bin Hanbal dalam Manaqib-nya — seperti tercantum dalam Ash-Shawa'iq, halaman 96 — juga telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW bersabda kepada Ali r.a.: "Tidakkah engkau merasa puas bahwasanya engkau dan aku berada di surga, sedangkan Hasan dan Husain serta syi'ah (pendukung-pendukung) kita berada di sisi kanan dan kiri kita."

Al-Hakim merawikan — sebagaimana yang tertera dalam kitab tafsir Majma' Al-Bayan tentang ayat "al-mawaddah fil-qurba" (kasih sayang terhadap sanak keluarga Rasulullah SAWW — Asy-Syura: 23), bahwa Abul-Bahili berkata, Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan aku dan Ali dari satu pohon. Maka aku adalah pokoknya, Ali cabangnya, Fathimah serbuk sarinya, Al-Hasan dan Al-Husain buahnya dan para syi'ah (pengikut) kita adalah dedaunannya. Oleh sebab itu barangsiapa bergantung pada salah satu dahannya, ia pasti selamat, dan barangsiapa menyimpang darinya akan terjatuh. Meskipun seorang hamba menyembah Allah SWT sepanjang seribu tahun, kemudian seribu tahun lagi sehingga menjadi seperti tempat air dari kulit yang sudah keriput, sementara ia tidak mencintai kita, maka Allah SWT akan mengempaskannya di atas batang hidungnya ke dalam neraka." (Kemudian beliau SAWW membaca firman Allah):

Katakanlah: "Tiada apa pun yang kuminta dari kamu atas seruanku ini selain kasih sayang kepada kerabatku." (Asy-Syura: 23).
Siapakah yang Dimaksud dengan Syi'ah Ali?

Tiada keraguan sedikit pun, bahwa syi'ah (para pendukung) Ali dan Ahlul-Bayt adalah orang-orang Muslim yang rriengikuti mereka (Ahlul-Bayt) dalam urusan agama dan mendukung mereka. Alhamdulillah, kami telah mengikuti mereka sepenuhnya dalam seluruh cabang agama dan akidahnya, ushul-fiqh serta kaidah-kaidahnya, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis dan Al-Quran serta ilmu akhlak, perilaku dan sopan santun. Semua itu sebagai manifestasi ketundukan kami sepenuhnya kepada kepemimpinan mereka serta demi pengakuan atas perwalian mereka. Kami pun selalu mendukung para pencinta mereka dan menjauhi musuh-musuh mereka sebagai perwujudan kaidah-kaidah kecintaan serta penerapan norma-norma akhlak dalam hal kasih sayang terhadap keluarga Rasulullah SAWW Dengan demikian kami selalu bertindak sebagai syi'ah (pendukung) mereka sementara mereka selalu kami jadikan sebagai wasilah dan perantara. Segala puji bagi Allah atas petunjuk-Nya kepada kami untuk mengikuti agama-Nya serta taufik-Nya atas kami untuk memenuhi seruan yang disampaikan oleh Rasulullah SAWW agar berpegang teguh pada Ats-Tsaqalain (Al-Quran suci dan 'itrah, keluarga suci Nabi SAWW), serta memasuki "kota ilmunya" melewati "pintunya". Yaitu "pintu pengampunan dosa", "jaminan keamanan bagi segenap penghuni bumi", serta "bahtera-bahtera penyelamat bagi umat ini". Dan sekali lagi, segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami jalan ini. Sungguh kami tiada akan memperoleh hidayah seandainya Allah SWT tiada memberinya kepada kami.

Dalam kitab Ash-Shawa'ig, halaman 91, diriwayatkan dari Ibn Sa'ad bahwa Ali berkata: Rasulullah SAWW pernah mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya orang pertama yang masuk surga adalah aku, Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain. Aku bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimana dengan para pencinta-pencinta kita?" Jawab beliau: "Mereka berada di belakang kalian."

Ad-Dailami meriwayatkan — seperti yang tersebut dalam kitab di atas — sebuah hadis marfu': "Putriku Fathimah diberi nama seperti itu karena Allah SWT telah memisahkannya serta para pencintanya dari jilatan apineraka."[1]

Pada halaman dan kitab yang sama, Ahmad bin Hanbal dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW menggandeng tangan Hasan dan Husain seraya bersabda: "Siapa pun yang mencintaiku dan mencintai kedua anak ini, serta ayah dan ibu mereka berdua, maka ia akan bersamaku pada derajatku di Hari Kiamat kelak."[2]

Dalam At-Tafsir Al-Kabir, Ats-Tsa'labi meriwayatkan dengan sanad kepada Jarir bin Abdullah Al-Bajali, bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: "Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan men-cintai keluarga Muhammad,[3] maka ia mati syahid. Barangsiapa mati dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, niscaya ia akan terampuni. Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka ia mati dalam keadaan bertobat. Barangsiapa mati dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka berarti ia mati dalam keadaan beriman yang sempurna. Barangsiapa mati dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka Malaikat Al-Maut beserta Munkar dan Nakir akan mengabarinya dengan surga. Barangsiapa meninggal dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad akan diantar ke surga laksana pengantin perempuan yang diantar ke rumah suaminya. Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka Allah SWT akan menjadikan kuburannya sebagai tempat kunjungan Malaikat rahmat. Barangsiapa wafat dalam keadaan mencintai keluarga Muhammad, maka ia mati (sebagai pengikut) sunnah (Muhammad) dan anggota jamaah (kaum Muslim). Adapun Orang yang meninggal dunia dalam keadaan membenci keluarga Muhammad, maka, di Hari Kiamat kelak, akan tertulis di antara kedua matanya 'Orang ini telah putus asa dari rahmat Allah '. " ( Al-Hadits)

Az-Zamakhsyari telah menukilkan hadis ini, secara mursal, dalam tafsir ayat "Al-Mawaddah fi Al-Qurba", surah Asy-Syura: 23, dalam kitab tafsir Kasysyaf-nya, sebagai hadis yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Demikian pula para penyusun tulisan mengenai "Manaqib" dan "Fadha`il" telah meriwayatkan hadis ini, adakalanya dengan menyebutkan sanadnya, namun adakalanya secara mursal, yakni tanpa merasa perlu menyebutkan sanadnya.

Anda pun pasti tahu bahwa martabat yang mulia ini dikaruniakan kepada mereka, mengingat bahwa mereka adalah "bukti-bukti Allah" yang amat kuat, tempat menimba air syariat-Nya yang jernih dan bersih. Mereka adalah orang-orang kepercayaan-Nya sepeninggal Nabi Muhammad SAWW Dan mereka adalah duta-duta-Nya dalam penyampaian amar ma'ruf nahi munkar. Itulah sebabnya, barangsiapa mencintai mereka karena hal tersebut, maka ia adalah pencinta AUah dan siapa membenci mereka maka ia adalah pembenci Allah SWT Mengingat hal inilah, Al-Farazdaq menyenandungkan bait-bait syairnya tentang mereka (Ahlul-Bayt):

. . . Mereka itu dari keluarga mulia

kecintaan terhadap mereka adalah sebagian dari agama

kebencian terhadap mereka adalah kekafiran

Dekat kepada mereka berarti keselamatan!

Jika dihitung-hitung orang yang bertakwa

Merekalah pemuka-pemukanya!

Atau, bila ada orang yang bertanya:

Siapa penghuni bumi paling utama?

Jawabnya pasti: Itulah mereka!

Dalam kitab Ash-Shawa'iq, Bab IX, di bagian akhir Pasal 2, halaman 75, disebutkan bahwa Imam Ahmad merawikan dari Ali, yang berkata: Pemah Rasulullah SAWW mencariku lalu menemuiku di sebuah kebun. Beliau bersabda; "Bangkitlah, demi Allah, sungguh aku akan membuatmu ridha! Engkau adalah saudaraku dan ayah putra-putraku. Engkau berjuang demi tegaknya sunnahku. Barangsiapa mati dalam keadaan berpegang teguh pada pesanku, maka ia tergolong ahli surga. Dan barangsiapa wafat dalam keadaan mencintaimu, maka ia telah memenuhi kewajibannya. Dan siapa pun meninggal dunia dalam keadaan mencintaimu sesudah kematianmu, niscaya Allah SWT akan menjamin keselamatan dirinya serta keimanannya selama matahari masih terbit dan terbenam."

Pada penjelasan makna kedua dari makna-makna yang disebut dalam penafsiran ayat "al-mawaddah fi al-qurba", dalam kitabnya Ash-Shawa'iq, Ibn Hajar menyebutkan sebuah hadis:[4]

Nabi Muhammad SAWW pada suatu hari muncul di hadapan sahabat-sahabatnya dengan wajahnya yang berseri-seri laksana bulan purnama. Abdur-Rahman bin Auf bertanya mengenai itu. Maka Rasul SAWW bersabda: "Berita gembira disampaikan Tuhanku kepadaku mengenai saudaraku, sepupuku serta putriku. Yaitu bahwa Allah mengawinkan Ali dengan Fathimah, dan memerintahkan malaikat Ridwan, penjaga pintu surga, untuk menggerakkan pohon thuba (di surga) sehingga menumbuhkan lembaran-lembaran — sejumlah para pencinta Ahlu-Bayt-ku. Dan la menciptakan di bawahnya malaikat dari cahaya, lalu menyampaikan satu lembar kepada setiap malaikat. Maka apabila tiba Hari Kiamat, berserulah para malaikat di antara seluruh makhkik. Dan tidak terkecuali seorang pun dari pencinta-pencinta Ahlul-Bayt melainkan disodorkan sehelai surat kepadanya sebagai tanda keselamatan dari azab neraka. Dengan demikian, jadilah saudaraku, sepupuku dan putriku sebagai pembebas dari api neraka bagi sejumlah besar laki-laki dan wanita dari umatku."

Hadis-hadis seperti ini tidak mungkin tercakup semuanya dalam tulisan ini. Namun cuplikan sebagiannya di atas, mudah-mudahan cukup memuaskan bagi siapa saja yang dikaruniai Allah SWT hidayah dan inayah-Nya.

Dan mudah-mudahan sesudah keterangan ini, setiap Syi'i mengerti bahwa kalangan Ahlus-Sunnah telah berkata yang sebenarnya serta mengakui. Begitu pula semoga orang Sunni mengetahui bahwa sesudah adanya berita-berita yang menggembirakan ini, tidak akan muncul lagi perasaan kurang senang terhadap saudara-saudara mereka dari kalangan Syi'ah.

Salam sejahtera serta rahmat Allah dan berkah-Nya atas mereka yang senantiasa mengikuti sunnah dan menjauhi segala bentuk fitnah.?

*) Mereka tadinya mungkin mengharapkan emas dan perak (yang diperoleh sebagai hasil rampasan perang Jamal) akan dibagi-bagikan kepada mereka, dan tidak dimasukkan ke dalam Bayt Al-Mal — Penerj.

**) Komentar Ibn Hajar (dalatn Shawa'iq-nya), setelah menyebutkan hadis-hadis tentang keutamaan Ali r.a. dan Syi’ah-nya, tersebut di atas adalah: "... Janganlah hendaknya kaum Rafidhah dan Syi'ah mengira, dengan adanya hadis-hadis sepetti ini, bahwa merekalah yang dimaksud dengan para ‘para pencinta Ahlul-Bayt (keluarga Nabi)'. Sebab mereka telah melampaui batas dalam kecintaan terhadap Ahlul-Bayt sedemikian sehingga terjerumus kepada pengkafiran para sahabat dan penyesatan umat. Sedangkan Ali r.a. pemah berkata: 'Akan binasa siapa melampaui batas dalam mencintaiku...'"

Selanjutnya Ibn Hajar berkata: "... yang dimakaud dengan syi'ah (atau para pendukung dan pencinta) Ali r.a. dalam hadis-hadis seperti ini ialah Ahlus-Sunnah, kaiena meiekalah yang benar-benar mencintai Ali dan Ahlul-Bayt pada umumnya serta syi'ah (para pendukung) mereka, seperti diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang-orang selain mereka, pada hakikatnya, adalah musuh-musuh. Sebab, kecintaan yang keluar dari batas syariat dan yang menyimpang dari jalan kebenaran, adalah permusuhan terbesar yang membawa kepada kebinasaan ..." — penerj.

[1] Begitu pula An-Nasai telah merawikan seperti itu, sebagaimana yang terdapat pada halaman 96 kitab Ash-Shawa’iq.

[2] Abu Dawud telah pula merawikannya seperti tertulis pada halaman 103 dalam Ash-Shawa’iq dan ditambahkan di dalamnya: “... dan mati dalam keadaan mengikuti sunnahku ..." Dengan ini, dapat diketahui bahwa mengikuti sunnah beliau tidaklah akan tercapai kecuali dengan mencintai mereka (keluarga Rasulullah SAWW).

[3] Yang dimaksud dengan “keluarga Muhammad” dalam hadis ini dan semacamnya adalah keseluruhan mereka yang diwakili oleh Imam-imam mereka. Yaitu mereka yang merupakan para khalifah (pengganti) Rasulullah SAWW, pengemban wasiatnya, wali-walinya serta pewaris-pewaris kekuasaannya. Dan mereka adalah yang disebut oleh beliau sebagai satu di antara dua tsaqal (benda amat berharga) di samping tsagal lainnya, yaitu Al-Quran, yang kedua-duanya tidak akan berpisah lampai Hari Kiamat. Maka, siapa saja berpegang teguh pada kedua-duanya, pasti takkan tersesat, dan siapa saja yang meninggalkan keduan-duanya, pasti tak beroleh petunjuk.

Jadi yang dimaksud dengan “keluarga Muhammad" di sini bukanlah mencakup semua orang perorang dari mereka. Karena martabat yang amat tinggi ini tidak akan diperoleh kecuali — secara khusus — oleh para wali Allah yang teguh menjalankan perintah-perintah-Nya. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis shahih yang mutawatir daii saluran al-'itrah, keluarga suci Rasulullah SAWW. Namun, memang benar bahwa mencintai semua keluarga Rasulullah SAWW dan semua anak keturunannya merapakan kewajiban, mengingat bahwa mereka itu adalah ranting-ranting yang berasal dari pohon Rasulullah SAWW yang suci. Hanya dengan cara teperti ini, akan diperoteh derajat yang dekat kepada Allah SWT serta syafaat dari datuk mereka, Rasulullah SAWW. Sehubungan dengan ini, aku pernah mewasiatkan kepada anak-anakku supaya mcnuliskan hadis ini di atas kain kafanku, sesudah dua kalimat syabadat, agar aku dapat berjumpa dengan Allah SWT bersamanya. Kini kuulang-ulang lagi dan kutandaskan wasiatku kepada mereka. Dan hendaknya dituliskan puli di atas serbanku.

[4] Baca kitab Ash-Sahawa’iq, halaman 103. Hadis ini juga dirawikan oleh banyak dari kalangan para penulis masalah managib dan fadha-il (keutamaan para sahabat).



Berbeda Pendapat dengan Mayoritas adalah Wajar


Kasus-kasus Penakwilan

Dalam bab ini kami akan menyebutkan nama beberapa orang atau tokoh yang menyalahi pendapat mayoritas kaum Muslim, namun hal itu tidak mengurangi 'adalah (kredibilitas dan integritas) mereka.

Tujuan yang ingin kami capai dalam hal ini ialah demi menjelaskan alasan-alasan para "penakwil" di antara kaum Muslim.*)

Nah, apabila Anda melihat seseorang yang berasal dari kalangan salaf (pendahulu)-mu yang baik-baik, atau orang yang darinya Anda pelajari urusan agama Anda dan Anda jadikan ia sebagai penghubung antara Anda dan Rasulullah SAWW (dalam mempelajari sunnah beliau). Apabila Anda mendapatinya dalam suatu masalah, telah bertentangan dengan Anda, berdasarkan ijtihadnya, atau tidak searah-sejalan dengan Anda, berdasarkan pemahaman (atau penakwilan)-nya, lalu Anda dapat "memaklumi" atau "memaafkannya" dalam perbedaan pendapat dengan Anda, maka sudah barang tentu Anda juga dapat "memaklumi" seseorang dari generasi sekarang ini yang ternyata berbeda pendapat dengan Anda, berdasarkan hasil ijtihad atau penakwilannya.

Jika demikian itu keadaannya, di sini aku sangat mengharapkan dari saudara-saudaraku — kaum Muslim yang kepada mereka buku ini kupersembahkan — agar memandang dengan pandangan yang adil, apakah ada hubungan kekerabatan antara Allah dan seseorang dari manusia sedemikian sehingga Dia memperlakukannya tidak seperti orang-orang lainnya? Tentu tidak! Allah SWT tidak akan sekali-kali menghukum suatu kaum karena perbuatan yang jika dilakukan oleh suatu kaum lainnya, la justru memberi mereka pahala atasnya. Kita meyakini bahwa hukum-Nya yang berlaku atas orang-orang terdahulu, pastilah berlaku juga atas mereka yang datang kemudian.

Sungguh banyak jumlah para penakwil yang berselisih pendapat dengan mayoritas para Sahabat serta Tabi’in.Tidak mungkin kami dapat menyebut nama mereka semua. Cukuplah kiranya menyebut sebagian dari mereka saja sekadar mencapai tujuan yang kami sebutkan di atas.

Beberapa Sahabat yang Menolak Bay'at kepada Abu Bakar

Di antara mereka, Sa'd bin Ubadah, seorang sahabat Nabi SAWW dan peserta perang Badr, pemuka dan pemimpin suku Khazraj, dan salah seorang dermawan serta tokoh kaum Anshar. la menolak memberikan bay'at kepada kedua Khalifah (Abu Bakar dan Umar) dan sebagai protes ia pergi ke Syam dan kemudian terbunuh secara rahasia di kota Hauran pada tahun 15 Hijriah. la dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap cara pemilihan Khalifah (Abu Bakar) di balairung Saqifah Bani Sa'idah, maupun terhadap peristiwa-peristiwa lain sesudah itu. Bagi mereka yang ingin menelaah tentang hal ini, silakan membaca buku Al-Imamah wa As-Siyasah karya Ibn Qutaibah, atau Tarikh Ath-Thabari, lalu Al-Kamil karangan Ibn Al-Atsir atau buku sejarah lainnya. Saya kira, semua buku sejarah yang mencatat peristiwa Saqifah, memuat juga keterangan tentang Sa'd bin Ubadah. Dan semua pengarang biografi para sahabat pasti menyebut nama Sa'd serta penolakannya untuk memberikan bay'at. Kendatipun demikian, tak seorang pun meragukan bahwa ia termasuk di antara tokoh-tokoh utama kaum Muslim yang terhormat. Hal itu mengingat bahwa sikap kerasnya itu adalah akibat penakwilan (ijtihad)-nya., karena itu bisa "dimaklumi" walaupun tindakannya dianggap salah.

Di antara mereka, juga Hubab bin AI-Mundzir bin Al-Jamuh Al-Anshari Al-Badri Al-Uhudi. la juga menolak untuk memberikan bay'at (kepada Abu Bakar) sebagaimana diketahui dari sejarah para salaf. Penolakannya .itu tidak mengurangi kredibilitasnya dan tidak pula menurunkan keutamaannya. Ucapannya pada hari Saqifah itu amat terkenal, yaitu (dengan terjemahan bebas — penerjemah): "Akulah orang yang banyak pengalaman sehingga kepadanya semua orang meminta saran. Akulah orang yang luas ilmunya sehingga mampu mengatakan segala persoalan. Akulah pemimpin para pahlawan yang selalu siap memasuki medan perjuangan. Jika kalian ingin, demi Allah, akan kita kembalikan keadaan seperti semula!"**)

Ada lagi ucapannya yang lebih keras mengenai peristiwa itu, namun kami beranggapan lebih baik tidak disebutkan di sini. Yang penting ialah seandainya bukan karena sikap menghormati pendapat orang-orang yang melakukan penakwilan, niscaya Ahlus-Sunnah tidak akan menyatakan — tanpa ragu — bahwa Hubab termasuk di antara para penghuni surga yang utama, kendatipun kecamannya yang pedas terhadap kedua khalifah pertama, seperti yang dipaparkan dalam buku-buku sejarah kaum Syi'ah dan Sunnah.

Demikian pula Amir Al-Mukminin Ali r.a. serta pamannya, Al-Abbas dan putra-putranya, 'Utbah bin Abi Lahab dan anggota-anggota suku Bani Hasyim lainnya, juga Salman Al-Farisi, Abu Dzar, Al-Miqdad 'Ammar, Zubair, Khuzaimah bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Farwah bin 'Amr bin Wadaqah Al-Anshari, Khalid bin Sa'id bin 'Ash, Al-Bara' bin 'Azib dan beberapa tokoh lainnya. Mereka semua — pada mulanya — menolak memberikan bay'at, sebagaimana tersebut dalam berita-berita yang mutawatir dan terang benderang seterang matahari di siang hari yang cerah.[1]

Tersebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Ali r.a. tidak bersedia ber-bay'at sampai setelah wafatnya Fathimah r.a. — pemuka utama kaum wanita — yang menyusul Ayahandanya SAWW tidak lama setelah beliau wafat.

Banyak pula para ahli tarikh yang mencatat penolakan Ali r.a. untuk ber-bay'at, seperti Ibn Jarir Ath-Thabari ketika menyebut peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tahun 11 H, dalam buku Târîkh-nya yang terkenal. Juga Ibn Abdi Rabbih Al-Maliki ketika membahas peristiwa Saqifah dalam bukunya Al-'Iqd Al-Farid (jilid II), Ibn Qutaibah dalam halaman-halaman pertama bukunya Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Asy-Syahnah ketika menyebut peristiwa bay 'at di Saqifah dalam bukunya Raudhah Al-Manadzir[2] dan Abu Al-Fida ketika menyebutkan berita-berita tentang Abu Bakar dan khilafah-nya dalam buku Tarikh-nya berjudul Al-Mukhtasar fi Akhbar Al-Basyar. Juga Al-Mas'udi meriwayatkannya dari 'Urwah bin Zubair ketika berusaha membenarkan tindakan saudaranya (Abdullah bin Zubair) yang pemah hendak membakar rumah-rumah Bani Hasyim bersama para penghuninya disebabkan penolakan mereka memberikan bay 'at (kepada Abu Bakar).[3] Dan dirawikan pula oleh Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal ketika menyebutkan tentang golongan An-Nazhzhamiyah. Demikian pula Ibn Abi Al-Hadid (tokoh kaum Mu'ta-zilah dan bermazhab Hanafi) pada permulaan jilid VI dalam bukunya Syarh Nahj Al-Balaghah. Juga telah dinukil oleh pengarang Nahj Ash-Shidq dari buku Al-Mahasin wa Anfas Al-Jawahir serta Al-Ghurar karangan Ibn Khuzabah, dan juga buku-buku penting lainnya. Bahkan Abu Mikhnaf telah menulis sebuah buku yang khusus memuat rincian peristiwa penolakan Ali r.a. untuk memberikan bay'at-nya serta ketidaksediaannya untuk tunduk patuh (kepada Abu Bakar r.a.).

Keterangan-keterangan di atas merupakan bukti paling jelas tentang diterimanya alasan-alasan para penakwil. Dan siapakah yang berani melontarkan tuduhan kepada (Ali r.a.) saudara Nabi SAWW, wali, pewaris dan pengemban wasiatnya, lalu berkata bahwa ia (Ali) dengan penolakannya itu telah melakukan pembangkangan (maksiat) kepada Allah SWT? Sedangkan ia adalah orang pertama dari umat ini yang beriman dan taat kepada-Nya?! Atau menuduhnya telah menentang As-Sunnah, padahal dialah penanggungjawab, pewaris dan yang paling berkepentingan mendukung dan melaksanakannya? Dan siapa pula yang berani mendakwakan bahwa ia — dengan sikapnya itu — telah memisahkan diri dari Al-Quran, "saudara kandungnya", sedangkan Nabi SAWW telah menandaskan bahwa kedua-duanya takkan berpisah?[4] Dan siapakah yang akan memperkirakan bahwa — dengan perbuatannya itu — ia telah menyimpang dari kebenarah, sedangkan nash Al-Quran telah menghilangkan segala dosanya serta menyucikannya? Dan siapakah akan mengatakan bahwa ia telah menjauh dari yang haq, sedangkan Rasulullah SAWW telah bersabda:

"Ali selalu bersama yang haq dan yang haq senantiasa menyertai Ali, betputar bersamanya ke mana saja ia berputar."

Dan siapakah gerangan yang berani menyatakan bahwa kebodohannyalah yang menyebabkan ia tidak mengetahui hukum pem-bay'at-an ini? Padahal ia (sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi SAWW) adalah yang paling mengerti tentang penetapan hukum di antara umat ini, dan bahwa ia adalah "pintu kota ilmu" dan telah dikaruniai ilmu yang sempurna tentang Al-Quran . . .?!

Begitu juga Abu Sufyan (Shakhr bin Harb) telah tidak segera ikut dalam pem-bay'at-an itu. Dan dialah yang berucap pada waktu itu:[5] "Aku melihat kegelapan berdebu, tidak akan dapat dihilangkan kecuali dengan darah!" la kemudian pergi berkeliling di lorong-lorong kota Madinah seraya berseru dalam syairnya:

Wahai Bani Hasyim

Jangan memberi kesempatan siapa saja

berambisi melampaui kalian

apalagi suku Taim atau 'Adiy,

Sungguh urusan (khilafah) ini hanya patut

bagi seorang dari kalian dan untuk kalian

tiada lain yang berhak kecuali Ali, Abu Al-Hasan.

Selanjutnya ia berkata:[6] "Mengapa gerangan urusan (khilafah) ini diserahkan kepada suku terlemah dari Quraisy? "Kemudian ia berseru kepada Ali r.a.: 'Ulurkan tanganmu untuk ku-bay'at. Demi Allah, jika Anda kehendaki, akan kupenuhi kota ini dengan kuda dan pasukan!" Tetapi Ali r.a. menolak. Maka Abu Sufyan mendendangkan syair Al-Mutalammis:

Tiada sesuatu berdiam diri menghadapi penghinaan

yang ditujukan kepadanya

kecuali dua yang paling hina

keledai kampung dan pasak yang tertanam.

Yang ini terikat toli dalam kehinaan

dan yang itu dihantam, tak seorang pun menangisi.

Demikian itulah sebagian dari ucapan dan tindakan Abu Sufyan yang berkaitan dengan peristiwa pem-bay'at-an Abu Bakar. Kami (kaum. Imamiyah) beranggapan bahwa perbuatannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya untuk mengobarkan fitnah (kekacauan) dan menimbulkan perpecahan di antara kaum Muslim. Oleh sebab itulah Amir Al-Mukminin Ali a.s. membentaknya dengan ucapannya: "Demi Allah, tiada sesuatu yang Anda inginkan dengan perbuatan ini, selain menimbulkan fitnah. Memang, Anda selalu memendam maksud-maksud jahat terhadap Islam!"[7]

Dan pada hakikatnya, jika kami menyebutkan Abu Sufyan di antara "para penakwil", maka hal itu semata-mata demi mengikuti orang-orang yang menilai tindakan-tindakannya sebagai hal yang tetap dapat dibenarkan (atau "dimaklumi"). Dengan demikian, lengkaplah hujah kami atas mereka dalam hal menerima baik dan "memaklumi" tindakan-tindakan "para penakwil" lainnya, sebagai konsekuensi dari dasar pemikiran dan penilaian yang mereka tetapkan sendiri.

Pertengkaran Fathimah dengan Abu Bakar

Lihatlah juga sikap dan tindakan Fathimah r.a., pemuka utama para wanita seluruh alam semesta dan belahan jiwa Rasulullah, penutup rangkaian para nabi dan rasul SAWW. Semua orang mengetahui pertengkaran yang telah terjadi antara Fathimah dan Abu Bakar, sehingga Fathimah mendiaminya dan menolak berbicara dengannya sampai ia meninggal dunia dan dimakamkan secara rahasia, di malam hari, oleh suaminya, Amirul Mukminin Ali a.s. Hanya beberapa orang saja di antara para pendukungnya yang diberitahu tentang wafatnya itu, agar tidak seorang pun, selain mereka, yang menshalati jenazahnya. Berita mengenai ini termasuk berita-berita yang diterima tanpa keraguan sedikit pun. Seperti yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahih mereka,[8] demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal, dari riwayat Abu Bakar, di halaman 6, jilid I dari Musnad-nya. Juga disebutkan oleh para pengarang buku-buku sejarah dan biografi para tokoh. Cukup kiranya bagi Anda, keterangan yang ditulis oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya, Al-Imamah wa As-Siyasah, yangjugadikutip oleh Ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah.

Jangan pula Anda lupakan kandungan dua pidato Fathimah r.a. yang keindahan bahasa dan kepadatan isinya pasti bersumber pada lisan Ayahandanya SAWW. Yang satu berkaitan dengan warisan yang menjadi haknya dan yang lainnya berkaitan dengan urusan kekhalifahan. Kedua-duanya disebutkan oleh Ahmad bin 'Abd Al-Aziz Al-Jauhari dalam bukunya, As-Saqifah dan Al-'Allamah Al-Mu'tazili (Ibn Abi Al-Hadid) dalam Syarh Nahj Al-Balâghah, jilid 16.[9] Juga dimuat dalam buku Balâghât An-Nisa',[10] Al-Ihtijaj, Al-Bihar dan lain-lainnya di antara buku-buku karya para penulis dari kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah). Silakan menelaahnya agar Andalebih yakin tentang pembenar-an atau pemaafan terhadap sikap dan tindakan "para penakwil".

Khalid bin Walid Membunuh Malik bin Nuwairah, Lalu Menikahi Isterinya

Di antara "para penakwil" itu ialah (Abu Sulaiman) Khalid bin Walid (Al-Makhzumi). Dialah pembunuh Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi pada peristiwa "Al-Bithah", dan langsung menikahi bekas istrinya, Ummu Tamim binti Al-Minhal, yang tergolong wanita tercantik di antara kaum wanita masa itu. Kemudian Khalid pulang kembali ke Madinah seraya menancapkan beberapa anak panah di surbannya. Melihat itu, Umar bin Khaththab r.a. segera mencabut dan mematahkannya, lalu berkata kepadanya (sebagaimana tercantum dalam Tarikh Ibn Atsir dan lainnya): "Engkau telah membunuh seorang Muslim, lalu engkau memperkosa istrinya! Demi Allah, akan kurajam engkau!" Kemudian ia memberitahukan tentang masalah itu kepada Khalifah Abu Bakar (seperti yang tertera pada buku biografi Watsimah bin Musa, dalam kitab Wafayât Al-A'yân karya Ibn Khalikan): "Khalid telah berzina, rajamlah ia!" Namun Abu Bakar menjawab: "Aku tidak akan merajamnya. la telah 'bertakwil' dan keliru dalam takwilnya itu." Umar berkata lagi: "Dan ia juga telah membunuh seorang Musjim. Bunuhlah ia sebagai hukuman atas perbuatannya itu!" Jawab Abu Bakar: "Tidak, aku tidak akan membunuhnya karena itu. la telah bertakwil dan keliru dalam takwilnya itu." Tetapi, Umar tetap mendesaknya sehingga ia (Abu Bakar) akhirnya berkata: "Bagaimana pun juga, aku tidak mau menyarungkan 'pedang' yang telah dihunus oleh Allah SWT." Kemudian Abu Bakar membayar diyat (uang tebusan) untuk keluarga Malik dari Bayt Al-Mal dan melepaskan semua tawanan dari keluarganya. Peristiwa ini tidak disangsikan lagi kebenarannya. Dan tidak pula disangsikan bahwa Khalidlah yang melakukannya.[11]

Peristiwa ini telah disebutkan oleh Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Tarikh-nya serta Ibn Atsir dalam Al-Kamil. Juga oleh Watsimah bin Musa bin Al-Furat serta Al-Waqidi dalam kedua kitab mereka, Saif bin Umar dalam kitab Ar-Riddah wa Al-Futuh, Zubair bin Bakkar dalam Al-Muwaffaqiyyat, Tsabit bin Qasim dalam Ad-Dalail, Ibn Hajar Al-'Asqallani (pada pasal tentang riwayat hidup Malik) dalam Al-Ishabah, Ibn Syahmah dalam kitab Raudhah Al-Manadzir, Abu Al-Fida' dalam Al-Mukhtasar, dan masih banyak lagi dari penulis-penulis yang dahulu dan sekarang. Semuanya menyebutkan tentang sikap memaafkan dari Abu Bakar terhadap Khalid atas dasar bahwa ia telah "bertakwil dan keliru dalam penakwilannya."

Dan jika Abu Bakar merupakan orang pertama yang bersedia "memaklumi" lalu memaafkan para penakwil, siapakah dari kaum Muslim selainnya yang akan meragukan hal itu?

Sungguh aku tak dapat membayangkan, sejak kapankah usaha penakwilan dalam hal-hal furu' menjadi sesuatu yang terlarang, atau bagaimana ia tidak merupakan alasan pemaafan, di sisi Allah maupun kaum Mukmin? Padahal orang-orang terdahulu (para salaf) telah banyak menakwilkan arti dan maksud pelbagai nash, "demi maslahat umat" seperti yang mereka perkirakan. Pada kenyataannya, hasil penakwilan mereka itu ditaati sepenuhnya oleh mayoritas kaum Muslim, seraya menjadikan para salaf itu sebagai panutan dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama. Hal itu demi menunjukkan kepercayaan sepenuhnya terhadap hasil takwil dan ijtihad mereka di samping persetujuan atas maksud dan tujuan mereka.

Masih ada lagi beberapa kasus yang ingin kami kemukakan, yaitu yang mengacu kepada takwil atau ijtihad mereka. Cukup sedikit saja yang ingin kami tambahkan, secara singkat dan sepintas lalu. Dan semoga yang sedikit ini dapat menunjuk kepada yang tersirat di balik yang tersurat, bak kata pepatah: "Bagi seorang yang berjiwa merdeka, selintas isyarat pun cukup memadai".

Penakwilan tentang Talak Tiga

Di antaranya, penakwilan mereka mengenai "talak tiga sekaligus" dah penetapan hukum mereka terhadap hal tersebut, berlawanan dengan yang berlaku pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW serta sepanjang kekhalifahan Abu Bakar r.a. seperti yang telah diketahui.

Pada pasal "Talak tiga sekaligus" dari bab "Thalak", kitab Shahih Muslim, juz I, halaman 574, dirawikan dari 'Abdullah bin Abbas melalui beberapa rangkaian sanad: Pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW, kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun pertama kekhalifahan Umar r.a., perbuatan "talak tiga sekaligus" dianggap satu. Kemudian Umar bin Khaththab berkata: "Banyak orang suka tergesa-gesa dalam urusan (talak) yang seharusnya mereka berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai pencegah agar mereka tidak tergesa-gesa, sebaiknya kita tetapkan saja seperti yang mereka ucapkan." Berkata Ibn Abbas selanjutnya: Sebab itu, dilaksanakanlah (kehendak Umar) itu atas mereka.***)

Keterangan tersebut di atas juga disebutkan oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrir Al-Mar`ah (Pembebasan Kaum Wanita) halaman 173, sebagai kutipan dari Shahih Al-Bukhari. Juga dinukil oleh Sayid Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar, jilid (bundel) IV, halaman 210, dari riwayat Abu Dawud, Nasa-i, Al-Hakim, Baihaqi. Kemudian Sayid Rasyid Ridha berkata selanjutnya: "Di antara yang menunjukkan bahwa ketetapan Umar itu berlawanan dengan ketetapan Nabi SAWW ialah hadis yang dirawikan oleh Baihaqi dari Ibn Abbas, yang berkata: Seorang laki-laki bemama Rakanah menceraikan istrinya tiga kali sekaligus dalam satu majelis (pertemuan). Atas tindakannya itu ia (Rakanah) menjadi sangat menyesal dan bersedih hati. Setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah SAWW, beliau bertanya kepadanya: 'Bagaimana cara engkau menceraikannya?' Jawab Rakanah: 'Tiga kali sekaligus.' 'Dalam satu majelis (yakni satu pertemuan)?' tanya beliau. 'Ya,' jawab Rakanah. Maka Rasulullah SAWW berkata: 'Talak seperti itu hanya (dianggap) satu. Rujukilah istrimu itu jika kau ingin.'[12]

Demikian itu pula menurut mazhab kami (Imamiyah).

Sebagai tambahan dalil dari apa yang telah Anda simak tadi,[13] dan bahwa yang demikian itu merupakan hukum yang asli, perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah, ayat 229-230:

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَانٍ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ


Maksud ayat di atas, Talak (yang dapat dirujuki hanyalah) dua kali, adalah apabila suami telah menjatuhkan talak atas istrinya sebanyak dua kali, maka yang wajib atasnya sesudah itu ialah seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran; yakni tetap memperistrikannya dengan cara yang baik atau — jika tidak — melepas (menceraikan)nya dengan kebaikan pula. Kemudian Allah berfirman selanjutnya, Maka jika ia (suami) menceraikannya {yakni untuk kali yang ketiga setelah dua kali talak yang terpisah). . . tidaklah ia (si istri) halal baginya setelah itu . . . (yakni setelah talak yang ketiga) . . . sampai si istri telah mengawini seorang suami selainnya . . . (yakni suami yang kedua).

Berdasarkan ayat ini, apabila suami berkata kepada istrinya: "Engkau kujatuhi talak tiga"; padahal sebelumnya ia tidak pernah mentalaknya, atau pun jika ia hanya pernah mentalaknya satu kali, maka tidaklah ada larangan bagi keduanya untuk rujuk kembali walaupun perempuan itu belum dinikahi oleh suami yang lain. Sebab yang terlarang ialah merujukinya sesudah terjadi talak ketiga yang didahului oleh dua talak sebelumnya.

Walaupun demikian, Umar r.a. telah menakwilkan ayat tersebut serta semua dalil yang berkaitan dengan soal itu sebagai peringatan bagi mereka yang bertindak tergesa-gesa serta pencegahan bagi orang-orang jahil dan cepat naik darah.[14] Kiranya penjelasan tersebut cukup memuaskan bagi Anda mengenai sikap "memaklumi" dan memaafkan, bahkan menyetujui tindakan para penakwil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar